9.28.2013

SANKSI YANG DIKENAKAN ATAS KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 9 mengatakan bahwa Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas antara lain menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya. Laporan keuangan tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Selanjutnya untuk dapat menghasilkan laporn keuangan tersebut sesuai dengan PMK nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat, setiap Kementerian Negara/Lembaga wajib menyelenggarakan Sistem Akuntansi Instansi (SAI). SAI terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan (SAK), Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN). Untuk menerapkan SAI ini kementerian/lembaga  membentuk antara lain : (a). Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA); (b). Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Eselon 1 (UAPPA-E1); (c). Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPA-W); dan (d).Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran ( UAKPA). 

Dokumen sumber diproses oleh UAKPA menjadi laporan keuangan tingkat UAKPA wajib diampaikan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara(KPPN) dan UPPA-W. Selanjutnya UAPPA-W menggabungkan laporan keuangan yang diterima dari berbagai UAKPA di wilayahnya untuk menghasilkan laporan keuangan tingkat wilayah yang selanjutnya disampaikan oleh UAPPA-Wilayah ke UAPPA-E1 dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharan. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tersusunnya Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dan akhirnya Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sangat ditentukan oleh akurasi dan ketepatan penyampaian laporan keuangan di level yang paling bawah, yaitu tingkat UAKPA. Untuk itu penting adanya peraturan yang terkait dengan penegakan disiplin atas penyusunan laporan keuangan tersebut. Salah satu alat yang dapat digunakan adalah pemberian sanksi atas ketidakpatuhan atas mekanisme pelaksanaan akuntansi dan pelaporan keuangan tersebut.


Laporan Keuangan
Setelah terjadi pelaksanaan anggaran Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyusun laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55 ayat (2) mengatur bahwa Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang berkewajiban untuk menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi: (1)Laporan Realisasi Anggaran; (2) Neraca; (3) Catatan atas Laporan Keuangan; dan dilampiri Laporan keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian/lembaga masing-masing. Laporan keuangan tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Kewajiban penyusunan laporan keuangan di atas dan pembuatan pernyataan tanggungjawab juga diatur dalam PMK nomor 171/PMK.05/2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK 233/PMK.05/2011 tentang Perubahan  Peraturan Menteri Keuangan nomor : PMK 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat,  Pasal 66 ayat 1 PMK nomor 171/PMK.05/2007 menyatakan bahwa dalam rangka pertanggungjawaban keuangan, setiap Kementerian Negara/Lembaga sebagai entitas pelaporan wajib menyajikan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga Semesteran dan Tahunan berupa LRA, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat
Untuk dapat menyajikan laporan keuangan sebagaimana diuraikan di atas  setiap Kementerian Negara/Lembaga wajib menyelenggarakan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) untuk menghasilkan laporan keuangan. SAI antara lain terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan (SAK), Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN).
Untuk melaksanakan SAK sebagaimana dimaksud di atas Kementerian Negara/Lembaga membentuk Unit Akuntansi sebagai berikut : (a). UAPA; (b). UAPPA-E1; (c). UAPPA-W; dan (d). UAKPA.Setiap UAKPA wajib memroses dokumen sumber untuk menghasilkan laporan keuangan berupa LRA, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan Satuan Kerja dan menyampaikan LRA dan Neraca beserta ADK setiap bulan ke KPPN dan UAPPA-W/UAPPA-E1. Disamping itu  UAKPA melakukan rekonsiliasi dengan KPPN setiap bulan.
UAPPA-W melakukan proses penggabungan laporan keuangan yang berasal dari UAKPA di wilayah kerjanya termasuk Laporan Realisasi Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan yang digunakan oleh Kementerian Negara/Lembaga untuk menghasilkan laporan keuangan tingkat UAPPA-W.  UAPPA-W wajib menyampaikan laporan keuangan tingkat UAPPA-W beserta ADK kepada Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayah masing masing setiap bulan. UAPPA-W melakukan rekonsiliasi laporan keuangan dengan Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan setiap triwulan. Disamping itu UAPPA-W wajib menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca tingkat UAPPA-W beserta ADK kepada UAPPA-E1 setiap bulan.
Kementerian dan Lembaga dapat melimpahkan sebagian program kepada daerah. Kementerian dan Lembaga juga dapat memberi tugas kepada Daerah untuk melaksanakan suatu program tertentu sehinga ada kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Penyelenggaraan dan pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan melibatkan beberapa instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Di tingkat pemerintah pusat instansi yang terlibat adalah Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Teknis. Instansi-instansi tersebut berkoordinasi dalam perumusan kebijakan, perencanaan dan evaluasi. Penataan urusan pemerintahan merupakan wewenang dan tanggungjawab Kementerian Dalam Negeri. Pengelolaan pendanaan merupakan wewenang dan tanggungjawab kementerian keuangan sesuai dengan UU no 17 tahun 2003. UU no 1 tahun 2004 serta UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sementara itu pelimpahan/penugasan urusan kepada daerah merupakan wewenang dan tanggungjawab kementerian teknis. Bappenas bertugas dan berwewenang dalam hal penetapan sinkronisasi program sesuai dengan UU no 25 tahun 2004 tentang Sistem  Perencanaan Pembangunan Nasional.
Pelimpahan dan penugasan urusan didanai  APBN melalui bagian anggaran kementerian/lembaga. Program-program yang dilimpahkan atau ditugaskan ke daerah merupakan sebagian urusan  pusat di daerah yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah daerah namun pertanggungjawabannya harus dilakukan kepada kementerian atau lembaga yang telah melimpahkan atau menugaskan urusan tersebut.
Pelimpahan dan penugasan ini tentu harus diikuti dengan pendanaannya. Pendanaan dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat melalui kementerian Negara/lembaga kepada gubernur (sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah).
Pendanaan Tugas pembantuan dilaksanakan setelah adanya penugasan dari Pemerintah Pusat melalui kementerian Negara/lembaga kepada Gubernur/bupati/walikota (sebagai kepala daerah).
Dana dekonsentrasi dan Tugas pembantuan merupakan dana APBN sehingga dana ini harus dipertanggungjawabkan oleh kementerian /lembaga. Untuk melaksanakan kegiatan dekosnetrasi dan tugas pembantuan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) akan bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggaran sehingga SKPD selaku pengguna anggaran juga harus menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan demikian jika suatu SKPD secara sengaja atau lalai menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan uraian di atas juga dapat dikenakan sanksi oleh Kantor Wiayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara. Uraian berikut adalah uraian mengenai sanksi dan penyebab dikenakan sanksi serta mekanisme pemberian sanksi.

Jenis sanksi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan pasal 75 ayat 1, SKPD yang secara sengaja dan/atau lalai dalam menyampaikan laporan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dapat dikenakan sanksi berupa: 
1. penundaan pencairan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk triwulan berikutnya, 
2. penghentian alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk tahun anggaran berikutnya.
Aturan di atas secara operasional diatur lebih lanjut dalam PMK 156/PMK.07/2008 sebagaimana telah diubah dengan PMK nomor 248/PMK.07/2010 tentang Perubahan atas PMK 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Pasal 48,49, 50 dan 51. Pasal 49  mengatur pemberian sanksi penundaan pencairan dana, sementara itu pasal 50 mengatur sanksi penghentian pembayaran dalam tahun berjalan serta pasal 51 mengatur Kementerian/lembaga tidak diperkenankan mengalokasikan Dana Dekonsentrasi dan/atau Dana Tugas Pembantuan untuk tahun berikutnya.
Dari kedua peraturan di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi penundaan pembayaran dan sanksi penghentian pembayaran dalam tahun berjalan serta penghentian alokasi pendanaan. 
 Berikut ini akan dijelaskan ketiga sanksi tersebut. Pertama akan dijelaskan sanksi penundaan dan selanjutnya dijelaskan sanksi penghentian pembayaran dalam tahun berjalan serta tidak diberikan alokasi pendanaan.

Sanksi Penundaan penundaan pencairan dana
Pasal 49 (1) Sanksi penundaan pencairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dikenakan kepada SKPD apabila tidak melakukan rekonsiliasi laporan keuangan dengan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara setempat sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. Peraturan Menteri Keuangan(PMK) tersebut adalah PMK 171/PMK.05/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 233/PMK.05/2011 tentang Perubahan  Peraturan Menteri Keuangan nomor : PMK 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Menurut PMK tersebut, pasal 26 ayat 4,  rekonsiliasi wajib dilakukan setiap bulan. UAKPA Dekonsentrasi melakukan rekonsiliasi dengan KPPN setiap bulan dan harus menyampaikan LK berupa neraca dan Laporan Realisasi Anggaran ke KPPN dan UAPPAW setiap bulan (Pasal 26 PMKno 171/PMK.05/2007). Sementara itu UAKPA/B TP juga wajib melakukan rekonsiliasi dengan KPPN setiap bulan dan menyampaikan LK berupa LRA dan Neraca ke KPPN dan UAPPA/B W (Pasal 30 PMK.171/PMK.05/2007).
Disamping melakukan rekonsiliasi dengn KPPN, UAKPA juga melakukan rekonsiliasi dengan UAKPB di tingkat satker yang bersangkutan setiap bulan. Disamping itu UAKPB harus melakukan rekonsiliasi dengan KPKNL setiap semester (Pasal 42 ayat 4).
Rekonsiliasi dengan KPPN selambat-lambatnya dilakukan tujuh hari kerja setelah akhir bulan berkenaan..Setelah dilakukan rekonsiliasi maka dibuat Berita Acara Rekonsiliasi. Jika ketentuan ini tidak diikuti maka ada sanksi yang mungkin akan dialami oleh Satker.
Sanksi keterlambatan penyampaian laporan  diatur dalam Peraturn Dirjen Perben no 19 tahun 2008. Sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Dirjen Perbendaharaan no 19/PB/2008 tersebut, Kantor Wilayah DJPB dan KPPN selaku kuasa Bendahara Umum Negara di daerah berkewajiban memberikan sanksi kepada KPA dan UAPPA-W dalam hal KPA dan UAPPA-W terlambat/lalai menyampaikan laporan keuangan.
Sesuai dengan pasal 1 ayat 1 Perdirjen Perbendaharaan  no 19/PB/2008 tentang Pengenaan Sanksi atas Keterlambatan Penyampaian Laporan Keuangan, UAKPA wajib menyampaikan laporan keuangan setiap bulan ke KPPN berupa LRA, Neraca, dan Arsip Data Komputer (ADK). UAKPA juga harus menyampaikan laporan keuangan ke UAPPA-W atau UAPPAE1. Penyampaian laporan keuangan UAKPA ke KPPN dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah bulan bersangkutan berakhir. Laporan keuangan ini merupakan bahan rekonsiliasi dan pengawasan atas ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan Perdirjen Perbendaharaan no 19/PB/2008 tentang Pengenaan Sanksi atas Keterlambatan Penyampaian Laporan Keuangan, Pasal 3 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan KPPN selaku kuasa Bendahara Umum Negara di daerah berkewajiban memberikan sanksi kepada KPA dan UAPPA-W dalam hal KPA dan UAPPA-W terlambat/lalai menyampaikan laporan keuangan. Menurut pasal 4 peraturan direktur jenderal tersebut dalam hal KPA belum menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud  di atas, KPPN menerbitkan Surat Peringatan Penyampaian Laporan Keuangan (SP2LK). Jika sampai dengan 5 hari kerja sejak diterbitkan SP2LK, KPA tidak menyampaikan laporan keuangan bulanan, KPPN mengenakan sanksi berupa penundaan penerbitan SP2D atas SPM yang diajukan oleh Satuan Kerja yang bersangkutan dengan cara menerbitkan Surat Pemberitahuan Pengenaan Sanksi (SP2S) kepada Satuan Kerja yang belum menyampaikan laporan keuangan. Penundaan penerbitan SP2D tersebut dikenakan terhadap SPM-UP/TUP/GUP maupun SPM LS kepada bendahara Pengeluaran. Penundaan ini dikecualikan untuk SPM LS Belanja Pegawai, SPM LS ke fihak ketiga dan SPM Pengembalian. Penundaan juga diberlakukan jika Satuan Kerja tidak menyusun dan melaporkan BMN menggunakan SIMAK-BMN serta tidak menyampaikan laporan ke unit vertikal yang membawahi Satuan Kerja yang bersangkutan.
Apabila Satuan Kerja telah menyampaikan laporan keuangan setelah melewati batas waktu sebagaimana di atur di pasal 4 ayat 2 Perdirjen perbendaharaan no   19/PB/2008, yaitu setelah 5 hari kerja sejak diterbitkan SP2LK, KPPN menerbitkan Surat Pemberitahuan Pencabutan Pengenaan Sanksi (SP3S).
Sebagaimana telah dijelaskan di atas Sesuai dengan Pasal 3 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan KPPN selaku kuasa Bendahara Umum Negara di daerah berkewajiban memberikan sanksi kepada KPA dan UAPPA-W dalam hal KPA dan UAPPA-W terlambat/lalai menyampaikan laporan keuangan. Dalam hal UAPPA-W belum menyampaikan laporan keuangan sebagai mana dimaksud pasal 2 Perdirjen Perben no 19 tahun 2008, Kanwil Ditjen Perbendaharaan menerbitkan SP2KL.  Per-19/PB/2008 pasal 2 ayat 3 mengatakan bahwa Penyampaian Laporan Keuangan UAPPA-W ke Kanwil Ditjen Perbendaharaan selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja setelah triwulan bersangkutan berakhir sebagai bahan rekonsiliasi data dan pengawasan atas ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Jika sampai dengan 7 hari kerja sejak diterbitkan SP2LK UAPPA-W tidak menyampaikan LK Triwulanan, Kanwil Ditjen Perbendaharaan dapat mengenakan sanksi berupa penerbitan SP2S yang dikenakan kepada seluruh Satuan Kerja di bawah UAPPA-W tersebut atau ke Satuan Kerja yang belum menyampaikan laporan keuangan ke UAPPA-W. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat huruf a dan b PMK nomor Per-19/PB/2008 tersebut.
Pengenaan sanksi ke seluruh Satuan Kerja jika UAPPA-W belum menyampaikan laporan keuangan tanpa pemberitahuan ke Kanwil Ditjen Perbendaharaan  dan instansi vertikal UAPPA-W yang bersangkutan.  Pengenaan sanksi ke Satuan Kerja yang belum menyampaikan laporan keuangan ke UAPPA-W jika UAPPA-W belum menyampaikan laporan keuangan dengan pemberitahuan  ketidaklengkapan Satuan Kerja yang menyampaikan Laporan Keuangan. Pemberitahuan tesebut disampaikan ke Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan instansi Vertikal UAPP-W yang bersangkutan.
Pengenaan sanksi oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan   berupa : (1) Penundaan despensasi UP dan TUP; (2) Penundaan Penerbitan SP2D kepada Satuan Kerja; (3) Penundaan Revisi DIPA; (4) Sanksi lain yang ditentukan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
Jika UAPPA-W telah menyampaikan laporan keuangan setelah batas waktu sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 2 ( setelah 7 hari kerja sejak diterbitkan SP2LK), Kanwil Ditjen Perbendaharaan menerbitkan SP3S.
Pengenaan sanksi penundaan pencairan dimaksud tidak membebaskan SKPD dari kewajiban menyampaikan laporan Dana Dekonsentrasi dan/atau Dana Tugas Pembantuan

Sanksi penghentian pembayaran dalam tahun berjalan
Berdasarkan PP 7 tahun 2008 pasal 33 ayat 1 huruf a, Kepala SKPD provinsi yang melaksanakan dekonsentrasi atas nama gubernur menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan barang setiap triwulan dan setiap berakhirnya tahun anggaran kepada menteri/pimpinan lembaga pemberi dana dekonsentrasi, dengan tembusan kepada SKPD yang membidangi pengelolaan keuangan daerah.
Selanjutnya PP 7 tahun 2008 pasal 66 ayat 1 huruf a mengatakan bahwa Kepala SKPD provinsi yang melaksanakan tugas pembantuan atas nama gubernur menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan barang setiap triwulan dan setiap berakhirnya tahun anggaran kepada menteri/pimpinan lembaga pemberi dana tugas pembantuan dengan tembusan kepada SKPD yang membidangi pengelolaan keuangan daerah.
Selanjutnya pasal 66 ayat 1 huruf b mengatakan bahwa Kepala SKPD kabupaten/kota yang melaksanakan tugas pembantuan atas nama bupati/walikota menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan barang setiap triwulan dan setiap berakhirnya tahun anggaran kepada menteri/pimpinan lembaga pemberi dana tugas pembantuan dengan tembusan kepada SKPD yang membidangi pengelolaan keuangan daerah;
Sesuai dengan PMK 156/PMK.07/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 248/PMK.07/2010 Perubahan atas PMK 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,  Pasal 50 Penghentian pembayaran dalam tahun  berjalan dapat dilakukan apabila: (1). SKPD tidak menyampaikan laporan keuangan triwulanan kepada kementerian/ lembaga yang memberikan Dana Dekonsentrasi dan/atau Dana Tugas Pembantuan secara berturut-turut 2 (dua) kali dalam tahun anggaran berjalan; dan/atau (2) ditemukan adanya penyimpangan dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat Jenderal kementerian/ lembaga yang bersangkutan, atau aparat pemeriksa fungsional lainnya.
Untuk melaksanakan penghentian pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, kementerian/lembaga menetapkan Surat Keputusan  penghentian pembayaran dana.
Surat keputusan penghentian pembayaran dana dimaksud disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

Tidak diberi alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tahun berikutnya
Sesuai PMK 156/PMK.07/2008 sebagaimana telah diubah dengan PMK 248/PMK.07/2010, pasal 51 Kementerian/lembaga tidak diperkenankan mengalokasikan Dana Dekonsentrasi dan/atau Dana Tugas Pembantuan untuk tahun berikutnya apabila SKPD penerima dana dimaksud: (1)  tidak memenuhi target kinerja pelaksanaan kegiatan tahun sebelumnya yang telah ditetapkan; (2) tidak pernah menyampaikan laporan keuangan dan barang sesuai ketentuan yang berlaku pada tahun anggaran sebelumnya; dan/atau (3) melakukan penyimpangan sesuai hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa  keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat Jenderal kementerian/lembaga yang bersangkutan atau aparat pemeriksa fungsional lainnya; dan atau (4) tidak bersedia menerima hibah terhadap BMN yang disetujui untuk diterima. (*zies)



Tulisan asli oleh Margono (Widyaiswara pada Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan )
 
Sumber : BPPK Depkeu

0 komentar:

Posting Komentar