7.16.2014

UU Desa; Sekilas Tentang Potensi Permasalahannya

Penerapan UU Desa dan peraturan pelaksananya merupakan momen yang sudah ditunggu banyak pihak sejak 7 tahun yang lalu, ketika RUU Desa mulai digulirkan. Pengesahan UU Desa memberi harapan akan terwujudnya kemandirian desa, serta terlaksananya revitalisasi dan pemberdayaan desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Bagi Pemerintahan Desa, momen ini menjadi titik balik ketika pemerintah mulai menaruh kepercayaan kepada mereka dan mulai mengikis stigma ketidakmampuan yang selama ini melekat pada pemerintahan Desa.

Namun dibalik itu, tidak bisa dipungkiri bahwa penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada pemerintahan desa mengandung resiko yang cukup berarti. Menilik fenomena BOS ketika euforia penerapan alokasi anggaran minimal 20 % pada sektor pendidikan, dalam waktu singkat, banyak Kepala Sekolah dan pejabat pengelola kegiatan di sekolah-sekolah dan di Dinas Pendidikan yang terpaksa berurusan dengan penegak hukum. Para punggawa-punggawa pembangunan di bidang pendidikan tersebut tersandung masalah hukum karena melakukan pelanggaran atas kaedah-kaedah pengelolaan keuangaan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh peraturan perundangan. Sebagian karena memang didorong oleh itikadyang tidak baik, namun sebagian lain melakukan penyimpangan karena minimnya pengetahuan tentang pengelolaan keuangan serta mispersepsi atas alasan filosofis pelaksanaan kegiatan mereka.

Banyak pihak yang melihat penerapan UU desa ini memiliki latar belakang yang sama dengan situasi di bidang pendidikan tersebut. UU Desa memberikan kewenangan dan tentu saja tanggungjawab yang cukup berat kepada Kepala Desa dan perangkatnya. Pertanyaannya apakah mereka memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup untuk mengembang kewenangan dan tanggungjawab tersebut. Kendala SDM dan kelembagaan ini memang permasalahan klasik, tetapi tetap saja tidak bisa diabaikan. sebagai contoh, UU Desa memberi tanggungjawab kepada Kepala Desa untuk melaksanakan pengelolaan aset desa, sekilas tampak sepele, tapi faktanya pengelolaan aset adalah momok yang mengerikan bagi Pemerintah Daerah dari awal desentralisasi sampai sekarang.

Bertahun-tahun setelah pelaksanakaan desentralisasi, sebagian besar Pemda di Indonesia masih belum mampu menghasilkan laporan keuangan yang wajar tanpa pengecualian. Kabupaten Banjarnegara-pun baru tahun 2014 bisa lepas dari predikat WDP, setelah berhasil membereskan permasalahan-permasalahan, salah satunya terkait dengan pengelolaan aset. Belum lagi jika kita bicara masalah perencanaan pembangunan, dan bagaimana menjaga daya dukung perencanaan desa terhadap RPJMD dan RKPD. Perencanaan di tingkat desa ditentukan dalam musyawarah-musyawarah yang secara kelembagaan masih belum terlalu kuat. Selama ini desa sudah terlatih melaksanakan proses perencanaan yang konklusif dalam program-program pemberdayaan. Bahkan mereka sudah terbiasa untuk memenuhi keterwakilan perempuan dan kaum miskin desa, sesuatu yang kadang di tingkat lebih tinggipun sering terabaikan. Tetapi kita tidak boleh lupa, program-program pemberdayaan tersebut menyediakan SOP yang rigid, serta konsultan-konsultan yang sangat intens mendampingi keseluruhan proses tersebut. Ada sebagian desa yang berhasil melakukan transfer of knowledge dengan baik, tetapi masih banyak yang tergantung pada konsultan-konsultan tersebut.

Permasalahan lain adalah ketika Desa tiba-tiba memiliki kewenangan untuk mengumpulkan pendapatan asli desa dengan pungutan-pungutan terhadap aktivitas ekonomi di wilayahnya, sebagai contoh adalah atas aktivitas penambangan mineral bukan logam dan batuan yang tidak menggunakan alat berat, dengan penerapan UU desa seharusnya desa memiliki hak memungut pajak, yang dulu kita kenal dengan pajak gol C. Jika kendali dari pemerintah daerah tidak cukup kuat maka kewenangan tersebut berpotensi memicu ekonomi biaya tinggi, karena material yang menjadi obyek pajak adalah komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat umum. selain pajak aktivitas pertambangan, masih banyak aktivitas ekonomi yang tercantum di UU Desa ataupun peraturan pelaksananya yang dapat dipungut pajak oleh desa. Hal ini memunculkan potensi permasalahn lain, yaitu potesi konflik antar desa. contohnya ketika sebuah desa hanya bisa diakses dari tempat penyeberangan (tambatan perahuk), yang terletak di desa lain. kemudian desa lain tersebut memungut pajak atas penyeberangan, maka dampak ekonomis akan sangat dirasakan oleh penduduk yang tinggal di desa yang aksesnya terbatas. Artinya, ketika sebuah desa membebani sebuah aktivitas ekonomi dengan dalih eksternalitas, maka pembebanannya akan sangat rumit, karena sebuah aktivitas ekonomi sangat mungkin bersifat lintas desa, lalu ketika semua desa yang terdampak menuntut hak untuk memungut pajak/retribusi, yang terjadi adalah ekonomi biaya tinggi.

pungutan-pungutan seperti diatas sangat layak menjadi perhatian utama karena banyak literatur menyatakan bahaya yang paling nyata dari proses desentralisasi adalah upaya daerah untuk menggenjot pendapatannya. di satu sisi peningkatan pendapatan asli adalah penting untuk mencapai kemandirian fiskal, tetapi sangat berpotensi untuk membebani perekonomian sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. pada awal-awal penerapan desentralisasi fiskal, banyak peneliti yang menemukan fakta bahwa aparatur daerah menganggap hal pertama yang mereka harus lakukan adalah menggenjot PAD, karena persepsi mereka, jika PAD kecil maka kemampuan untuk membiayai pembangunan-pun terbatas, sehingga terbentuk pemahaman bahwa kunci keberhasilan desentralisasi fiskal adalah peningkatan PAD. Sampai level tertentu anggapan tersebut benar, karena semakin besar kemandirian fiskal maka semakin leluasa daerah tersebut merencanakan pengeluarannya. namun upaya perolehan PAD tidak boleh berlebihan, apalagi sampai semua aktivitas ekonomi dikenai pungutan. Karena bagaimanapun juga sebagian besar potensi pendapatan sudah dipungut melalui pajak pusat, yang mana akan dikembalikan lagi ke daerah melalui dana transfer. Penerapan UU Desa, dalam skala berbeda, memiliki latar belakang yang sama dengan desentralisasi fiskal Kabupaten/Kota. Untuk itu pengendalian atas penerbitan Peraturan Desa, terutama dalam bidang keuangan/fiskal yang berpotensi membebani sektor riil harus disiapkan dengan sangat matang.

Demikianlah, dari pemahaman yang awam, penerapan UU Desa mengandung potensi permasalahan yang cukup krusial. Walaupun pemerintah dalam menyusun UU sudah mengantisipasi potensi-potensi permasalahn tersebut, namun kunci keberhasilan tetap terletak pada kemampuan Pemerintah Daerah dalam mendampingi Desa menjalankan amanah barunya. (adit)

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan institusi. Semua tanggungjawab atas isi tulisan terletak pada penulis.

7.10.2014

Ibnu Khaldun dan pajak

Setahun lalu saya berdiskusi dengan seorang profesor muda yang sangat keren (pemikiranya) di sebuah siang di musim semi.Kami membahas penelitian yang sudah setengah jalan saya kerjakan. Saya agak dimarahi pada saat itu karena saya ngeyel, dengan ketidaktahuan saya, tentang skema perekonomian makro, tentang bagaimana peran pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi, tentang bagaimana pajak mempengaruhi daya beli, dan lain sebagainya. Saya begitu naif, karena saya tidak pernah belajar ekonomi secara mendalam, selain memang kemampuan terbatas juga.....hehehe....

Anyway, siang itu Sensei, sebutan untuk profesor di Jepang, menjelaskan tentang bagaimana kebijakan fiskal akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Karena penelitian saya kurang lebihnya adalah tentang anggaran belanja pemerintah, yang mana bersama-sama penerimaan pajak dan defisit anggaran, menjadi instrumen kebijakan fiskal yang bisa digunakan untuk mempengaruhi kinerja perekonomian.

Saya agak kaget ketika Sensei menyebut satu nama dalam penjelasannya yang bersemangat siang itu, kurang tahu juga semangatnya karena peduli atau saking jengkelnya. Beliau menceritakan tentang tulisan Ibnu Khaldun, sejawaran Tunisia yang kemudian saya tau ternyata bukan hanya seorang ekonom yang visioner, tetapi juga seorang panglima perang yang hebat di abad 17. Seketika nama Ibnu Khaldun disebutkan saya langsung berasa sedang di Mushola mendengarkan kuliah tujuh menit. Karena setiap saya mendengar nama arab, otak saya langsung mengasosiasikan ke hal-hal yang terkait Agama, bukan ekonomi.

Setelah itu saya browsing-browsing tentang Ibnu Khaldun, dimana saya menemukan banyak sekali tulisan para ekonom dari berbagai belahan dunia yang merujuk ke Beliau. Dan sekarang, ketika saya bertugas pada unit yang mengelola pendapatan daerah, saya teringat lagi artikel-artikel itu dan berharap mendapat pencerahan dari sang Panglima.

Baiklah, tentang pajak, Ibnu Khaldun menulis (yang mana saya terjemahkan secara bebas) pada tahap awal perekonomian terbangun, pungutan pajak tidak terlalu banyak tapi akan menghasilkan penerimaan yang sangat signifikan bagi perekonomian tersebut, namun sebaliknya ketika perekonomian sudah relatif mapan, pungutan pajak akan semakin besar tetapi penerimaan agregat akan terus mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya adalah karena penguasa yang datang dan berganti akan menerapkan pajak baru atau menaikan tarif lama untuk memenuhi membiayai rencana-rencananya, terus bagitu sampe pada tahap dimana para pengusaha dan masyarakat yang menjadi subyek pajak tidak lagi dapat menikmati keuntungan yang cukup. Para pengusaha itu, para pelaku ekonomi, tidak menyadari kenaikan pajak karena terjadi secara gradual dan mereka akan menyalahkan kondisi perekonomian secara umum, bahkan kalo di Indonesia beberapa diantara mereka akan menyalahkan nasib, kemudian mulai berendam di sungai atau bertapa di gunung, mempertanyakan kenapa bisnis mereka tidak lagi menguntungkan seperti dulu.

Kemudian ketika keadaan tidak membaik para pelaku usaha tersebut mulai berguguran, dan memilih untuk menjadi pekerja saja, jadi karyawan saja supaya tidak menanggung resiko bisnis. Nah pada saat inilah perekonomian menyusut, perputaran uang melambat dan nilai tambah pun menghilang. Kemudian penerimaan pajak pun mulai menurun, karena yang pembayar pajak berkurang. Sang penguasa, menurut Ibnu Khaldun, karena membutuhkan dana untuk membiayai pemerintahannya, cenderung akan mengatasi penurunan penerimaan pajak tersebut dengan menaikan pajak atau menciptakan pajak-pajak baru. Sektor riil akan semakin menyusut, Lapangan kerja semakin berkurang, pengangguran bertambah dan angka ketergantungan pendudukpun meningkat. Oleh karenanya untuk menjamin kemakmuran bagi rakyatnya, seorang penguasa harus mengurangi sebisa mungkin beban pajak terhadap pada pelaku usaha.

Pandangan seperti ini bertahan dan berkembang dalam kerangka ekonomi klasik, yang beranggapan bahwa pemerintah seharusnya meminimalisir campur tangannya dalam perekonomian. Mazhab ini percaya bahwa harga terendah hanya akan dihasilkan oleh perekonomian bebas, yang tidak memberi ruang bagi peranan pemerintah. Mazhab ini percaya bahwa keseimbangan ekonomi akan dihasilkan oleh the invisible hand dari pasar persaingan sempurna. Ketika tidak ada barier/hambatan bagi produsen untuk masuk kedalam pasar dan menjual barangnya, maka konsumen akan memiliki lebih banyak pilihan, sehingga para produsen akan bersaing dengan, salah satunya, menurunkan harga dan konsumen akan menikmati harga terendah yang ada dipasaran. Demikian juga dengan preferensi konsumen, jika ada produsen yang tidak optimal dalam melayani pelangganya maka konsumen akan dengan mudah berpindah ke produsen lain, dengan begitu konsumen akan mendapatkan pelayanan terbaik dalam pasar tersebut.

Salah satu pandangan yang paling populer dikenal dengan nama Say's law, yang menyatakan setiap pengeluaran pemerintah akan menyebabkan penurunan peran swasta dalam perekonomian, atau crowding out. Hal ini menjadi masuk akal ketika kita analogikan dengan proses yang sudah familiar di level Pemerintah Daerah. Misalnya ketika musim pengerjaan proyek fisik dimulai, banyak rekanan mencari pinjaman untuk membiayai proyek mereka, sehingga demand akan kredit meningkat, dengan terbatasnya sumber modal, maka logikanya para pemilik modal atau lembaga keuangan akan menaikan suku bunga pinjaman, sehingga biaya modal secara umum akan meningkat. Peningkatan ini tidak hanya mempengaruhi rekanan-rekanan pemerintah, tetapi juga para pelaku usaha karena mereka membiayai operasi usahanya dari sumber yang sama, bank-bank yang sama. Sehingga ketika pengeluaran pemerintah direalisasikan secara membabi buta tanpa didasarkan pada perencanaan yang menyeluruh maka akan memberi dampak yang buruk bagi perekonomian, karena meningkatnya biaya modal akan medorong kenaikan tingkat harga secara umum dan pada gilirannya akan menimbulkan tekanan inflasi.

Namun begitu, pandangan-pandangan ini mulai ditentang oleh penganut keynesian yang menitikberatkan peran pemerintah dalam mengendalikan perekonomian. Untuk mengatasi stagnasi misalnya, tidak cukup hanya dengan mengandalkan rekayasa suku bunga saja, karena di masa resesi suku bunga sudah sangat rendah, sehingga ruang untuk penerapan kebijakan moneter pun menjadi sangat sempit. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah adalah menjaga stabilitas ekonomi melalui penerapan kebijakan fiskal, yaitu melalui pengeluaran pemerintah, penerimaan pajak dan yang tidak bisa diabaikan, defisit fiskal, sebagaimana saya bilang di awal-awal tadi.

Disini peran pemerintah daerah menjadi krusial, karena pertumbuhan ekonomi daerah akan dipengaruhi oleh besaran pengeluaran pemerintah yang digelontorkan untuk membiayai pembangunan. Apalagi untuk daerah kecil seperti Kabupaten Banjarnegara, dimana PDRB-nya sebesar 8, 2 T rupiah sementara jumlah APBD-nya adalah sekitar 1,2 T rupiah ditahun 2012 , atau sekitar 14% dari PDRB. Walaupun secara empiris saya belum pernah mengukur keterkaitan besaran APBD dengan PDRB namun saya punya keyakinan pertumbuhan ekonomi di Banjarnegara sangat dipengaruhi oleh kucuran dana APBD. Dari publikasi BPS tentang PDRB persektor hanya 3 sektor yang terlihat menonjol selain pertanian, ketiga sektor tersebut adalah pemerintah umum, perdagangan dan industri olahan. Dimana komoditas utama dari industri olahan tersebut adalah semen dan bahan non logam yang sangat berhubungan dengan proyek-proyek fisik pemerintah daerah. Demikian juga komoditas-komoditas yang ada disektor perdagangan, banyak sekali yang transaksinya dipengaruhi oleh belanja pemerintah daerah. Dan tentu saja, dampak atau spillover dari belanja upah pegawai di APBD merupakan jumlah yang signifikan untuk menggerakan geliat ekonomi di Banjarnegara.

Lain halnya dengan penerimaan pajak daerah, karena pemerintah daerah hanya berwenang memungut pajak dari 9 sektor saja, maka saya tidak berani bilang kalau besaran penerimaan pajak daerah akan berpengaruh secara signifikan pada PDRB. Pungutan pajak yang paling mempengaruhi pergerakan sektor riil masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, yaitu PPN dan PPh. Jika melihat dari jumlah pun tidak terlalu signifikan, karena pendapatan asli daerah yang berasal dari sektor pajak dan retribusi di Kabupaten Banjarnegara hanya sebesar 33 M rupiah.

Bukan hanya PDRB saja yang dipengaruhi oleh penerimaan dan pengeluaran pemerintah (fiskal) tetapi juga tingkat inflasi. Nah ini lebih menjadi perhatian bagi pejabat publik, karena ketika tingkat inflasi meningkat, masyarakat akan langsung teriak-teriak, dan pejabat publik pun harus memutar otak untuk menormalisasi tingkat inflasi. Saya tidak bilang menurunkan karena inflasi pun kita butuhkan untuk menjaga sektor riil bergerak. Tapi karena inflasi akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneter, yang mana bukanlah ranah pemerintah daerah. Oleh karena itu dalam cerpen ini saya hanya akan menebar gosip di ranah fiskal saja.

Satu hal yang perlu di perhatikan ketika bicara tentang pajak daerah adalah tentang over-taxation, saya sendiri tidak begitu paham dengan istilah bahasa indonesianya. Tapi penjelasan sederhananya adalah (bisa saja saya salah) jika pada satu titik realisasi pendapatan daerah terpenuhi sesuai target, sementara realisasi belanja tidak mencapai target yang direncanakan, maka ada kemungkinan terjadi over-taxation pada perekonomian yang bersangkutan. Dampaknya seperti apa over-taxation ini silahkan dibaca sendiri di literatur ekonomi. Karena saya sebenarnya tidak paham-paham betul. Tapi sejauh pengetahuan saya ketika kondisi diatas terjadi maka pemerintah menyedot uang yang beredar di masyarakat, karena pungutan pajak jalan terus, sementara pengeluaran pemerintah seret. Keadaan ini akan membuat jumlah uang beredar akan berkurang. Lalu karena jumlah uang beredar di masyarakat berkurang maka konsumsi pun akan menurun, dimana akan semakin sedikit orang yang berbelanja. Apalagi di kabupaten kecil seperti banjarnegara, dimana kebanyakan sektor usaha terpengaruh langsung oleh belanja pemerintah, seperti sektor konstruksi, jasa percetakan, katering, dll. Semakin menurunnya jumlah konsumen dan tingkat konsumsi adalah horor untuk pengusaha. Ketika konsumen berkurang, maka keuntungan yang dinikmati pengusaha pun akan menyusut, nilai tambah menurun, PDRB menurun, pertumbuhan ekonomi rendah. Riilnya dilapangan, banyak buruh yang tidak menemukan pekerjaan, banyak usaha yang mengalami kemandegan, padahal sebagian besar pengusaha-pengusaha itu menanggun pengeluaran tetap, yaitu biaya modal/bunga pinjaman dan……pajak.

Sebaliknya, jika belanja pemerintah dilakukan secara sembrono tanpa perhitungan waktu yang terencana, dampaknya juga buruk untuk perekonomian. Sebagai gambaran, jika pemerintah daerah tidak merencanakan realisasi belanjanya dengan baik, yang terjadi adalah (seperti yang selama ini selalu terjadi) penumpukan belanja di akhir periode angaran. Biasanya pada semester awal realisasi anggaran sangat rendah, tetapi pada bulan-bulan terakhir hampir setengah dari belanja fisik baru dilaksanakan, atau bahkan mencapai 70% anggaran belanja proyek infrastruktur di belanjakan pada bulan-bulan akhir. Ini menimbulkan shock yang signifikan bagi perekonomian lokal. Karena dengan melonjaknya belanja, uang dicairkan, dari kas pemerintah ke sektor swasta, nah sektor-sektor ini juga membelanjakan lagi uang yang diterimanya untuk melaksanakan proyek, misalnya pengusaha konstruksi akan belanja batu/pasir untuk bangun jalan. Ketika semua proyek berjalan bersamaan maka akan muncul demand driven inflation, atau kenaikan harga karena naiknya permmintaan atas komoditas batu/pasir tersebut. Karena semakin banyak orang yang membutuhkan batu /pasir, si penjual secara naluriah akan menaikan harga jualnya. Di satu sisi ini akan menimbulkan beban anggaran karena harga material untuk proyek pemerintah otomatis lebih tinggi dari harga wajar. Namun dampak yang harus diperhatikan justru pada konsumsi umum, misalnya rumah tangga yang sedang membangun rumah dan membutuhkan batu/pasir, mereka terpaksa harus membeli dengan harga yang sudah naik. Demikian juga pada sektor transportasi, ketika jumlah angkutan yang tersedia disedot oleh pelaksanaan proyek pemerintah, maka biaya angkutan untuk sektor pertanian akan terdampak juga, dan kemungkinan akan menaikan tarif angkutan mereka, yang pada gilirannya akan menaikan harga komoditas pertanian juga. Nah pada kondisi inilah belanja pemerintah akan menimbulkan tekanan inflasi. Oleh karena itu sangat sangat penting bagi pemerintah daerah untuk bisa mengoptimalkan perencanaan belanjanya, karena dampak yang ditimbulkan akan langsung menghantam masyarakat tanpa disadari.

Tidak hanya dari sisi pengeluarannya saja, pemerintah daerah harus mampu merencanakan perencanaan yang holistik pada sektor penerimaannya. Karena sebagaimana saya ceritakan diatas, ketika belanja pemerintah menimbulkan tekanan inflasi pada suatu periode tertentu maka pemerintah harus bisa melakukan smoothing, atau pemerataan antar masa secara optimal. Dan yang tidak boleh dilupakan lagi, pemerintah daerah memiliki instrumen untuk mengurangi tekanan inflasi tersebut, yaitu melalui pemungutan pajak. Ketika jumlah uang beredar dimasyarakat sudah terlalu besar maka pungutan pajak juga harus dioptimalkan, sehingga keseimbangan ekonomi selalu terjaga di level ideal.

Kita hidup di jaman yang berbeda dengan Ibnu Khaldun. Saat ini penguasa tidak bisa dan tidak perlu menaikan pajak seenaknya. Idealnya pajak akan ditetapkan secara proporsional denga besarnya perekonomian, dan selanjutnya menjadi alat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tumbuh di level aman dan ideal. Dalam jangka pendek kenaikan pajak atau munculnya pajak baru akan menurunkan output, karena pajak pada umumnya masuk dalam komponen harga jual, produsen akan menentukan harga jual berdasarkan biaya bahan baku tambah margin keuntungan dan ditambah pajak. Karena itu naiknya pajak akan mendorong inflasi naik dan konsumsi turun, sehingga pertumbuhan pun menurun. Tetapi beberapa penelitian membuktikan bahwa kenaikan pajak, akan mendorong peningkatan output, dalam jangka panjang, selama kenaikan pajak tersebut digunakan untuk membiayai investasi, seperti memperbaiki jalur distribusi, teknologi penyimpanan hasil panen, dll. Dengan kata lain pajak masih menjadi sumber yang pembiayaan yang penting untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam sebuah perekonomian.

Mudah-mudahan pemerintah daerah juga akan mampu memberdayakan kewenangannnya di bidang pajak dan kewenangan fiskal lainnya untuk menjamin terciptanya iklim yang kondusif untuk pergerakan dunia usaha sekaligus menjaga tingkat harga dalam level yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Karena dengan menjaga harga tetap rendah (namun tidak mematikan sektor riil) akan meningkatkan daya beli, yang artinya pendapatan riil masyarakat meningkat, artinya tanpa menaikan UMR pun pemerintah bisa mengurangi angka kemiskinan.

Terakhir, sebagai tambahan, saya ingin sampaikan mungkin untuk para birokrat administrasi seperti LAKIP, anggaran kas, dan dokumen-dokumen lain merupakan tumpukan kertas yang tidak terlalu berarti. Selama RKA sudah disahkan jadi DPA, indikator-indokator kinerja dan rencana pencairan dana yang tertuang di anggaran kas hanya dikerjakan seenaknya saja, padahal angka-angka disitu sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, angka tersebut sangat berpeluang mempengaruhi harga beras, daging, cabe dan bahan pokok lain yang kita beli di pasar. Demikian juga para pengambil kebijakan, mungkin belum terlalu aware dengan data-data tersebut, walaupun ada anggaran kas tapi tidak pernah jadi referensi dalam pengambilan kebijakan. Apalagi diperiksa ketaatan SKPD dengan angka-angka didalamnya, mungkin tidak pernah dipikirkan sama sekali.

Tren yang terjadi di pemerintah daerah saat ini adalah menjadikan proses perencanaan terpusat pada anggaranya saja, proses keuangannya saja, dan alasan kenapa anggaran itu diusulkan seringkali dilupakan. Apalagi keterkaitan dengan perencanaan strategis daerah. *) Adit


Disclaimer : Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak menggambarkan panangan institusi, karena itu semua pertanggungjawaban atas isi tulisan terletak pada penulis.