Penerapan UU Desa dan peraturan pelaksananya merupakan momen yang sudah ditunggu banyak pihak sejak 7 tahun yang lalu, ketika RUU Desa mulai digulirkan. Pengesahan UU Desa memberi harapan akan terwujudnya kemandirian desa, serta terlaksananya revitalisasi dan pemberdayaan desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Bagi Pemerintahan Desa, momen ini menjadi titik balik ketika pemerintah mulai menaruh kepercayaan kepada mereka dan mulai mengikis stigma ketidakmampuan yang selama ini melekat pada pemerintahan Desa.
Namun dibalik itu, tidak bisa dipungkiri bahwa penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada pemerintahan desa mengandung resiko yang cukup berarti. Menilik fenomena BOS ketika euforia penerapan alokasi anggaran minimal 20 % pada sektor pendidikan, dalam waktu singkat, banyak Kepala Sekolah dan pejabat pengelola kegiatan di sekolah-sekolah dan di Dinas Pendidikan yang terpaksa berurusan dengan penegak hukum. Para punggawa-punggawa pembangunan di bidang pendidikan tersebut tersandung masalah hukum karena melakukan pelanggaran atas kaedah-kaedah pengelolaan keuangaan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh peraturan perundangan. Sebagian karena memang didorong oleh itikadyang tidak baik, namun sebagian lain melakukan penyimpangan karena minimnya pengetahuan tentang pengelolaan keuangan serta mispersepsi atas alasan filosofis pelaksanaan kegiatan mereka.
Banyak pihak yang melihat penerapan UU desa ini memiliki latar belakang yang sama dengan situasi di bidang pendidikan tersebut. UU Desa memberikan kewenangan dan tentu saja tanggungjawab yang cukup berat kepada Kepala Desa dan perangkatnya. Pertanyaannya apakah mereka memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup untuk mengembang kewenangan dan tanggungjawab tersebut. Kendala SDM dan kelembagaan ini memang permasalahan klasik, tetapi tetap saja tidak bisa diabaikan. sebagai contoh, UU Desa memberi tanggungjawab kepada Kepala Desa untuk melaksanakan pengelolaan aset desa, sekilas tampak sepele, tapi faktanya pengelolaan aset adalah momok yang mengerikan bagi Pemerintah Daerah dari awal desentralisasi sampai sekarang.
Bertahun-tahun setelah pelaksanakaan desentralisasi, sebagian besar Pemda di Indonesia masih belum mampu menghasilkan laporan keuangan yang wajar tanpa pengecualian. Kabupaten Banjarnegara-pun baru tahun 2014 bisa lepas dari predikat WDP, setelah berhasil membereskan permasalahan-permasalahan, salah satunya terkait dengan pengelolaan aset. Belum lagi jika kita bicara masalah perencanaan pembangunan, dan bagaimana menjaga daya dukung perencanaan desa terhadap RPJMD dan RKPD. Perencanaan di tingkat desa ditentukan dalam musyawarah-musyawarah yang secara kelembagaan masih belum terlalu kuat. Selama ini desa sudah terlatih melaksanakan proses perencanaan yang konklusif dalam program-program pemberdayaan. Bahkan mereka sudah terbiasa untuk memenuhi keterwakilan perempuan dan kaum miskin desa, sesuatu yang kadang di tingkat lebih tinggipun sering terabaikan. Tetapi kita tidak boleh lupa, program-program pemberdayaan tersebut menyediakan SOP yang rigid, serta konsultan-konsultan yang sangat intens mendampingi keseluruhan proses tersebut. Ada sebagian desa yang berhasil melakukan transfer of knowledge dengan baik, tetapi masih banyak yang tergantung pada konsultan-konsultan tersebut.
Permasalahan lain adalah ketika Desa tiba-tiba memiliki kewenangan untuk mengumpulkan pendapatan asli desa dengan pungutan-pungutan terhadap aktivitas ekonomi di wilayahnya, sebagai contoh adalah atas aktivitas penambangan mineral bukan logam dan batuan yang tidak menggunakan alat berat, dengan penerapan UU desa seharusnya desa memiliki hak memungut pajak, yang dulu kita kenal dengan pajak gol C. Jika kendali dari pemerintah daerah tidak cukup kuat maka kewenangan tersebut berpotensi memicu ekonomi biaya tinggi, karena material yang menjadi obyek pajak adalah komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat umum. selain pajak aktivitas pertambangan, masih banyak aktivitas ekonomi yang tercantum di UU Desa ataupun peraturan pelaksananya yang dapat dipungut pajak oleh desa. Hal ini memunculkan potensi permasalahn lain, yaitu potesi konflik antar desa. contohnya ketika sebuah desa hanya bisa diakses dari tempat penyeberangan (tambatan perahuk), yang terletak di desa lain. kemudian desa lain tersebut memungut pajak atas penyeberangan, maka dampak ekonomis akan sangat dirasakan oleh penduduk yang tinggal di desa yang aksesnya terbatas. Artinya, ketika sebuah desa membebani sebuah aktivitas ekonomi dengan dalih eksternalitas, maka pembebanannya akan sangat rumit, karena sebuah aktivitas ekonomi sangat mungkin bersifat lintas desa, lalu ketika semua desa yang terdampak menuntut hak untuk memungut pajak/retribusi, yang terjadi adalah ekonomi biaya tinggi.
pungutan-pungutan seperti diatas sangat layak menjadi perhatian utama karena banyak literatur menyatakan bahaya yang paling nyata dari proses desentralisasi adalah upaya daerah untuk menggenjot pendapatannya. di satu sisi peningkatan pendapatan asli adalah penting untuk mencapai kemandirian fiskal, tetapi sangat berpotensi untuk membebani perekonomian sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. pada awal-awal penerapan desentralisasi fiskal, banyak peneliti yang menemukan fakta bahwa aparatur daerah menganggap hal pertama yang mereka harus lakukan adalah menggenjot PAD, karena persepsi mereka, jika PAD kecil maka kemampuan untuk membiayai pembangunan-pun terbatas, sehingga terbentuk pemahaman bahwa kunci keberhasilan desentralisasi fiskal adalah peningkatan PAD. Sampai level tertentu anggapan tersebut benar, karena semakin besar kemandirian fiskal maka semakin leluasa daerah tersebut merencanakan pengeluarannya. namun upaya perolehan PAD tidak boleh berlebihan, apalagi sampai semua aktivitas ekonomi dikenai pungutan. Karena bagaimanapun juga sebagian besar potensi pendapatan sudah dipungut melalui pajak pusat, yang mana akan dikembalikan lagi ke daerah melalui dana transfer. Penerapan UU Desa, dalam skala berbeda, memiliki latar belakang yang sama dengan desentralisasi fiskal Kabupaten/Kota. Untuk itu pengendalian atas penerbitan Peraturan Desa, terutama dalam bidang keuangan/fiskal yang berpotensi membebani sektor riil harus disiapkan dengan sangat matang.
Demikianlah, dari pemahaman yang awam, penerapan UU Desa mengandung potensi permasalahan yang cukup krusial. Walaupun pemerintah dalam menyusun UU sudah mengantisipasi potensi-potensi permasalahn tersebut, namun kunci keberhasilan tetap terletak pada kemampuan Pemerintah Daerah dalam mendampingi Desa menjalankan amanah barunya. (adit)
Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan institusi. Semua tanggungjawab atas isi tulisan terletak pada penulis.
1 komentar:
Posting Komentar